Pendahuluan: Visi Jakarta sebagai Kota Inklusif
Kota inklusif adalah kota yang memastikan
setiap warganya, tanpa memandang latar belakang usia, jenis kelamin,
disabilitas, status ekonomi, suku, agama, maupun orientasi, memiliki akses yang
setara terhadap peluang dan sumber daya kota. Ini bukan hanya tentang
infrastruktur fisik, tetapi juga tentang rasa memiliki, partisipasi, dan
keadilan sosial.
Jakarta, sebagai megapolitan yang menjadi
pusat ekonomi, politik, dan budaya Indonesia, memiliki kompleksitas yang luar
biasa. Transformasi menuju kota inklusif adalah sebuah keharusan agar
pembangunan tidak meninggalkan siapa pun di belakang (leaving no one behind),
sejalan dengan amanat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
1.
Pilar-Pilar Utama Kota Inklusif di Konteks Jakarta
- Inklusi Fisik
(Aksesibilitas): Kemudahan akses terhadap infrastruktur dan layanan
fisik.
- Inklusi Sosial
& Ekonomi: Akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan,
pekerjaan, dan perumahan.
- Inklusi
Digital: Akses merata terhadap teknologi informasi dan komunikasi.
- Inklusi
Partisipatif (Demokratis): Ruang bagi warga untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan.
2. Inisiasi yang Telah Dilakukan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta di Bidang Pendidikan Memastikan Akses dan Kualitas untuk Semua
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meluncurkan
berbagai program dan kebijakan untuk mendorong inklusivitas di sektor
pendidikan. Inisiatif-inisiatif ini menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan
pedagogis.
a. Menghilangkan Hambatan Ekonomi: Kartu Jakarta Pintar
(KJP) Plus
KJP Plus adalah instrumen keadilan sosial yang paling signifikan di Jakarta.
Program ini dirancang untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan
dengan cara:
1)
Menjamin Akses: Memberikan bantuan biaya personal
yang memungkinkan anak dari keluarga tidak mampu untuk tetap bersekolah,
membeli seragam, buku, dan kebutuhan lainnya. Ini secara langsung menekan angka putus sekolah.
2) Memperluas
Peluang: Dana KJP Plus juga dapat digunakan untuk kursus atau pelatihan,
memberikan kesempatan tambahan bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan di
luar kurikulum formal.
b. Mendorong
Inklusi Sosial: Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI)
Jakarta secara resmi telah menunjuk ratusan sekolah negeri, dari tingkat SD
hingga SMA/SMK, sebagai Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Tujuannya adalah:
1)
Mengintegrasikan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK): ABK belajar di kelas yang sama dengan
siswa reguler, didampingi oleh Guru Pendamping Khusus (GPK). Model ini
bertujuan untuk menghilangkan sekat sosial dan mengajarkan interaksi yang
setara sejak dini.
2)
Membangun Lingkungan Belajar yang Beragam: Kehadiran
ABK di sekolah reguler memperkaya pengalaman belajar semua siswa, menumbuhkan
empati, dan mengurangi stigma terhadap disabilitas.
c. Menyediakan Jalur Alternatif: Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM)
Sebagai jaring pengaman pendidikan, PKBM memberikan kesempatan kedua bagi warga
yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal karena berbagai alasan (putus
sekolah, kendala ekonomi, atau usia). Program seperti Kejar Paket A (setara
SD), B (setara SMP), dan C (setara SMA) memastikan bahwa hak atas pendidikan
tetap dapat dipenuhi.
d. Upaya Pemerataan Akses: Sistem Penerimaan Murid Didik Baru (SPMB)
Meskipun sering menjadi perdebatan, sistem PMB berbasis Domisili pada dasarnya
adalah kebijakan inklusif. Tujuannya adalah:
1) Menghapus Kasta Sekolah: Mengurangi dominasi
"sekolah favorit" yang hanya dapat diakses oleh siswa dengan nilai
akademis tinggi atau dari keluarga mampu yang tinggal di sekitarnya.
2) Mendekatkan Akses: Memastikan anak dapat bersekolah di lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, mengurangi biaya dan waktu transportasi,
e.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar dan pesan yang bermanfaat. Selamat membaca